Sabtu, 05 November 2011

Agama Di Lamongan Hidup Berdampingan dengan Damai



Pluralisme, toleransi beragama yang tinggi, sejak dulu telah ditunjukkan para pendahulu kita, baik yang Hindu, Budha, Muslim dan Kristen sudah ada di Indonesia. Semangat gotong-royong itu juga diwujudkan dalam membangun tempat ibadah untuk saling membantu.

Ada banyak contoh. Mesjid Agung Istiqlal dibangun seorang yang beragama Krsiten. Mesjid Istiqlal adalah Masjid terbesar di Asia Tenggara, terletak di timur laut Tugu Monas. Mesjid ini digagas oleh Sukarno. Tetapi, tidak banyak yang tahu, dibalik kemegahan Masjid ini dibangun seorang Kristen, Frederich Silaban sebagai arsitek dari mesjid ini.

Ketika dilakukan sayembara untuk mencari arsitek terbaik Indonesia, Frederich Silaban  memenangkan sayembara tersebut, dengan tema profosalnya “Ketuhanan” yang kemudian diberikan tanggung-jawab membuat desain Istiqlal secara keseluruhan. Waktu itu, saat Silaban memenangkan sayembara itu, dia membeli seekor kerbau untuk dipotong untuk dimakan bersama.

Friedrich Silaban, sang arsitek, telah menunjukkan kebesaran jiwanya dengan terbukanya hati dan pikirannya untuk mengerjakan mesjid yang sangat monumental tersebut. Pekerjaan karya besar demikian, memang hanya mungkin dilakukan Silaban dengan jiwa besarnya tadi. Sebab dengan perbedaan latar belakang kepercayaan tersebut, maka Silaban terlebih dahulu mampu menjawab kegundahan hati nuraninya sendiri. Pertanyaan dimaksud adalah pantaskah dia sebagai seorang pemeluk Agama Kristen Protestan membuat desain sebuah mesjid?
Mesjid dalam hal ini bukanlah sekedar bangunan yang terdiri dari atap genting, dengan dinding batu bata semata. Melainkan merupakan bangunan yang disucikan sebagai tempat umat Islam beribadah dan melakukan kegiatan religius dan sosial lainnya. Apalagi mesjid itu adalah Mesjid Agung Istiqlal (Istiqlal artinya merdeka).

Mesjid yang diniatkan untuk melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mesjid yang merupakan suatu bangunan monumental kebanggaan seluruh umat Islam di Indonesia, dan akan tercatat sebagai mesjid terbesar di Asia Tenggara dizamannya. Karenanya, bangunan ini akan ‘berbicara’ tidak hanya puluhan tahun tapi sampai ratusan tahun kelak.

Setelah melalui beberapa kali pertemuan di Istana Negara dan Istana Bogor, maka pada 5 Juli 1955 tim juri memutuskan desain kreasi Silaban yang berjudul ‘Ketuhanan’ jadi pemenangnya. Dia menciptakan karya besar untuk saudaranya sebangsa yang beragama Islam, tanpa mengorbankan keyakinannya pada agama yang dianutnya.

“Oh, Tuhan! Kalau di MataMu itu benar, saya sebagai pengikut Yesus turut dalam sayembara pembuatan Mesjid Besar buat Indonesia di Jakarta. Tolonglah saya! Tunjukkan semua jalan-jalannya dan ide-idenya, supaya saya sukses. Akan tetapi Tuhan! kalau di MataMu itu tidak benar, tidak suka Tuhan saya turut maka gagalkanlah semua usaha saya. Bikin saya sakit atau macam-macam hingga saya tak dapat turut dalam sayembara,” begitu doa Silaban minta petunjuk Tuhan.

Ternyata Arsitek kelahiran Bonandolok (sebelah barat Danau Toba), Sumatera Utara, 16 Desember 1912 ini tidak mengalami hambatan apa-apa ketika hendak mengikuti sayembara. Dengan demikian ia berkesimpulan bahwa Tuhan mengijinkannya, maka iapun mengikuti. Begitulah akhirnya hingga ia dipilih sebagai pemenang pertama.

Desainnya yang menerapkan prinsip minimalis pada Mesjid Istiqlal tersebut serta penataan ruangan-ruangannya yang terbuka di kiri-kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar diantaranya sehingga memudahkan sirkulasi udara dan penerangan yang alami kedalamnya, membuat desain Silaban ini sangat cocok untuk mesjid yang berdaya tampung 100.000 orang.

Silaban dengan rancangannya “Ketuhanan,” bartender dengan empat orang arsitek keemapatnya muslim: Oetoyo dengan rancangannya “Istighfar” Hans Groenewegen dengan rancangannya “Salam” Mahasiswa ITB (5 orang) rancangannya “Ilham 5” Mahasiswa ITB (3 orang) rancangannya “Chatulistiwa.” Silaban adalah salah satu lulusan terbaik dari Academie van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950.

Setahun kemudian, tepatnya 24 Agustus 1961, masih dalam bulan yang sama perayaan kemerdekaan RI, menjadi tanggal yang paling bersejarah bagi umat muslimin di Indonesia. Untuk pertama kalinya, sebuah masjid yang dimaksudkan sebagai simbol kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Padanan katanya dalam bahasa Arab berarti merdeka dan disepakati diberi nama Istiqlal sehingga jadilah, Masjid Istiqlal namanya.

Kampung Pancasila
Di tengah sensitifnya isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA, sering menjadi pemicu konflik horizontal di masyarakat. Kasus Ambon dan Poso sudah cukup menjadi bahan untuk belajar soal toleransi beragama.

Tetapi, sitengah kondisi seperti ini “curiga-saling-curiga” ini, ada secerca harapan. Semangat toleransi masih besar di anatara anak bangsa. Ada banyak contoh nyata, tempat ibadah bisa berdampingan.
Masjid Almuqorrobienan dengan Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST) Jemaat Mahanain di Jalan Enggano Raya, Kelurahan Kebonbawang, Kecamatan Tanjungpriok, Jakarta Utara satu tembok. Hal ini sudah 53 tahun berdampingan. Kedua tempat ibadah itu menunjukkan kerukunan antar umat beragama yang cukup harmonis.

Tak hanya berdampingan, tempat ibadah dua pemeluk agama berbeda ini juga berbagi tembok bersebelahan. Sehingga, kedua tempat ibadah seolah-olah hanya dipisahkan satu tembok pembatas saja. Selama 53 tahun umat kedua tempat ibadah itu hidup berdampingan dengan rukun. Mereka hidup saling menghormati. “Selama puluhan tahun kami sudah hidup bersama dan tidak pernah sekalipun terlibat dalam konflik,” ujar H Tawakal, Wakil Ketua Yayasan Al-Muqorrobien.

Senada dengan H Tawakal, Ketua Jemaat GMIST Pendeta Tataleda Barakati mengatakan, hubungan emosional kaum Muslim dan Nasrani di kedua tempat ibadaha ini sangat akrab. “Hubungan kami sangat dekat. Bahkan, lebih dekat dari hubungan kakak beradik,”ujar Pendeta asal Sangihe Talaud itu.

Bahkan, saat terjadi kerusuhan 1998 lalu, di mana banyak gereja-gereja yang dibakar, para pengurus masjid dan warga sekitar justru menjaga gereja yang sudah berdiri lebih dari setengah abad ini. “Para pengurus masjid mengusir orang-orang yang mencoba membakar gereja. `Ayo lawan kami, kata mereka,” ujar Tataleda seraya menirukan seruan umat Muslim kala itu.

Saling pengertian lainnya adalah saat perayaan hari besar agama. Jika hari besar itu jatuh pada hari Minggu, gereja tidak menggelar ibadah. Di pihak lain, jemaah Masjid Almuqorrobien tidak merasa terusik saat jemaat gereja menggelar ibadah di hari Minggu.

Semangat toleransi ini bermula dari para pelaut asal Sangihe Talaud yang kerap singgah di Pelabuhan Tanjungpriok, lalu berdiri pada tahun 1957 dan dinamakan Gereja Masehi Injili Talaud (GMIST). Setelah dua tahun gereja itu berdiri, baru kemudian masjid Al-Muqorrobien dibangun. Pelopornya adalah Abdul Azis Ali. Pemilihan lokasi di samping gereja memang ada tujuanya, selain untuk memudahkan para pelaut dan pekerja pelabuhan beribadah, juga untuk menunjukkan kerukunan agama di Indonesia.

Saya, ada isu, gereja tersebut termasuk lahan yang akan digusur Suku Dinas (Sudin) Tata Kota Jakarta Utara untuk pelebaran jalan dan pembangunan taman. “Gereja dan masjid ini punya nilai historis sebagai simbol kerukunan beragama. Pemerintah kota seharusnya menjadikannya sebagai cagar budaya, bukan justru menggusurnya,” ujar Tataleda.

Para pengurus masjid telah datang ke gereja menunjukkan dukungan moril agar gereja tersebut dapat dipertahankan. Kuatnya dukungan itu ditunjukkan dengan tekad mereka bahwa jika gereja dibongkar masjid juga harus dibongkar. Di Mesir ada gereja Kristen dan Sinagog Yahudi berdampingan dengan masjid besar Amru bin Ash, ketiga tempat ibada itu sampai sekarang masih aktif digunakan.

Kawasan Tugu saat terletak Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara. Tugu mulai disebut sebut pada tahun 1661 yaitu tahun ditempatkannya 23 orang Kristen asal Benggala dan Koromandel. Lima belas tahun kemudian. Jumlahnya meningkat menjadi 40 atau 50 keluarga dan ditempatkan seorang guru di sana. Setengah abad kemudian, 1735, dibangunlah sebuah gereja dari tembok, yang pada tahun 1740 dibakar oleh orang – orang Cina yang memberontak. Pada tahun 1744 dibangun lagi gereja baru atas biaya seorang pejabat VOC Justinus Vinck.

Lamongan kota soto itu bagi sebagian orang menyimpan ketakutan tersendiri, karena Lamongan menjadi asal dari orang-orang yang diisukan telibat teroris. Padahal, jauh dari pemikiran itu di di Lamongan ada sebuah masjid berdampingan dengan tempat ibadah umat Hindu-Pura dan tempat ibadah umat Kristen-Gereja.

Masjid Miftahul Huda di Desa Balun, Kecamatan Turi-Lamongan berarsitektur kental timur tengah memiliki kubah besar di tengah, dengan dikelilingi 5 kubah kecil sebagi simbol penanda salat lima waktu; berdampingan dengan tempat ibadah agama Hindu dan Kristen.

Bangunan masjid dan pura hanya dipisahkan jalan kampung selebar 4 meter. Bahkan, jika dilihat dari lokasi Pura Sweta Maha Suci ini, bangunan masjid seolah menyatu dengan bangunan pura. Tak hanya itu, tepat di depan masjid berjarak kurang lebih 50 meter, berdiri sebuah Gereja Kristen Jawi Wetan.

Ramadan lalu, semangat Pancasila terlihat di sana. Rasa saling menghormati juga diwujudkan selama bulan suci ramadan oleh penganut agama yang lain. Umat Hindu yang biasa beribadah pukul 19.00 WIB misalnya, terpaksa merubah jadwalnya sebelum Maghrib. Karena pada pukul 19.00 WIB umat Islam sedang menjalankan salat tarawih.

Keragaman keyakinan warga Desa Balun sudah terjalin sejak lama, saat masing-masing tokoh agama menyebarkan agama di desa tersebut. Sedikitnya 1.500 kepala keluarga, 75 persen warga Desa Balun beragama Islam, 15 persen beragama Kristen dan sepuluh persen sisanya beragama Hindu.

Sebaliknya, di Bali berdirinya lima tempat ibadah yang dibangun dalam satu lokasi yang berdekatan. Komplek tersebut diberi nama Puja Mandala, Nusa Dua Bali. Kelima tempat ibadah yang besar di Indonesia ini berdampingan. Tidak ada saling ribut, tidak ada saling mengejek, damai dan sejahtera. Mulai dari Masjid, Pura, Gereja Katholik dan Protestan dan Vihara berdiri berdampingan tanpa ada sedikitpun keruwetan dalam menjalankan ibadah masing-masing. Yang terpenting saling hormat-menghormati; itulah kerukunan umat beragama.

Di Jombang, kecamatan Mojowarno, Ngoro, Bareng dan Wonosalam, tiga tempat agama bisa berkembang, tanpa ada gesekan dan benturan, yaitu Islam, Kristen (Protestan) dan Hindu.Tepatnya di Desa Mojowangi Kecamatan Mojowarno yang jumlah pemeluk Islam dan Kristen jumlahnya hampir seimbang. Bangunan masjid dan gereja pun jaraknya tak terlalu jauh. Beberapa puluh meter di sebelah selatan gereja tua Mojowarno dan merupakan gereja bersejarah di Jombang, berdiri dengan kokoh bangunan masjid.

Sementara itu di Bongsorejo bangunan masjid dan gereja juga saling berdekatan. Begitu juga di Kertorejo, Kecamatan Ngoro. Bahkan di Dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, bangunan pura, masjid dan gereja hampir berdekatan. Kehidupan masyarakat Ngepeh pun tetap harmonis. Bahkan di Dusun Mutersari, ada bangunan masjid dan gereja yang temboknya menjadi satu seperti di Tanjung Priok.

Tempat ibadah yang terletak di pinggir Jalan Raya Mojoagung-Wonosalam ini hanya tersekat oleh tembok masjid yang sekaligus menjadi pembatas dengan halaman gereja, sementara halaman masjid tersekat oleh tembok yang menjadi dinding gereja. Sungguh inilah toleransi itu, ada kesejukan tersendiri di tengah isu yang sedang hangat “semangat yang intoleransi” yang sedang dipertanyakan di Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar