Pluralisme, toleransi beragama yang tinggi, sejak dulu telah
ditunjukkan para pendahulu kita, baik yang Hindu, Budha, Muslim dan
Kristen sudah ada di Indonesia. Semangat gotong-royong itu juga
diwujudkan dalam membangun tempat ibadah untuk saling membantu.
Ada banyak contoh. Mesjid Agung Istiqlal dibangun seorang yang
beragama Krsiten. Mesjid Istiqlal adalah Masjid terbesar di Asia
Tenggara, terletak di timur laut Tugu Monas. Mesjid ini digagas oleh
Sukarno. Tetapi, tidak banyak yang tahu, dibalik kemegahan Masjid ini
dibangun seorang Kristen, Frederich Silaban sebagai arsitek dari mesjid ini.
Ketika dilakukan sayembara untuk mencari arsitek terbaik Indonesia,
Frederich Silaban memenangkan sayembara tersebut, dengan tema
profosalnya “Ketuhanan” yang kemudian diberikan tanggung-jawab membuat
desain Istiqlal secara keseluruhan. Waktu itu, saat Silaban memenangkan
sayembara itu, dia membeli seekor kerbau untuk dipotong untuk dimakan
bersama.
Friedrich Silaban, sang arsitek, telah menunjukkan
kebesaran jiwanya dengan terbukanya hati dan pikirannya untuk
mengerjakan mesjid yang sangat monumental tersebut. Pekerjaan karya
besar demikian, memang hanya mungkin dilakukan Silaban dengan jiwa
besarnya tadi. Sebab dengan perbedaan latar belakang kepercayaan
tersebut, maka Silaban terlebih dahulu mampu menjawab kegundahan hati
nuraninya sendiri. Pertanyaan dimaksud adalah pantaskah dia sebagai
seorang pemeluk Agama Kristen Protestan membuat desain sebuah mesjid?
Mesjid dalam hal ini bukanlah sekedar bangunan yang terdiri dari atap
genting, dengan dinding batu bata semata. Melainkan merupakan bangunan
yang disucikan sebagai tempat umat Islam beribadah dan melakukan
kegiatan religius dan sosial lainnya. Apalagi mesjid itu adalah Mesjid
Agung Istiqlal (Istiqlal artinya merdeka).
Mesjid yang diniatkan untuk melambangkan kejayaan dan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Mesjid yang merupakan suatu bangunan monumental
kebanggaan seluruh umat Islam di Indonesia, dan akan tercatat sebagai
mesjid terbesar di Asia Tenggara dizamannya. Karenanya, bangunan ini
akan ‘berbicara’ tidak hanya puluhan tahun tapi sampai ratusan tahun
kelak.
Setelah melalui beberapa kali pertemuan di Istana Negara dan Istana
Bogor, maka pada 5 Juli 1955 tim juri memutuskan desain kreasi Silaban
yang berjudul ‘Ketuhanan’ jadi pemenangnya. Dia menciptakan karya besar
untuk saudaranya sebangsa yang beragama Islam, tanpa mengorbankan
keyakinannya pada agama yang dianutnya.
“Oh, Tuhan! Kalau di MataMu itu benar, saya sebagai pengikut Yesus
turut dalam sayembara pembuatan Mesjid Besar buat Indonesia di Jakarta.
Tolonglah saya! Tunjukkan semua jalan-jalannya dan ide-idenya, supaya
saya sukses. Akan tetapi Tuhan! kalau di MataMu itu tidak benar, tidak
suka Tuhan saya turut maka gagalkanlah semua usaha saya. Bikin saya
sakit atau macam-macam hingga saya tak dapat turut dalam sayembara,”
begitu doa Silaban minta petunjuk Tuhan.
Ternyata Arsitek kelahiran Bonandolok (sebelah barat Danau Toba),
Sumatera Utara, 16 Desember 1912 ini tidak mengalami hambatan apa-apa
ketika hendak mengikuti sayembara. Dengan demikian ia berkesimpulan
bahwa Tuhan mengijinkannya, maka iapun mengikuti. Begitulah akhirnya
hingga ia dipilih sebagai pemenang pertama.
Desainnya yang menerapkan prinsip minimalis pada Mesjid Istiqlal
tersebut serta penataan ruangan-ruangannya yang terbuka di kiri-kanan
bangunan utama dengan tiang-tiang lebar diantaranya sehingga memudahkan
sirkulasi udara dan penerangan yang alami kedalamnya, membuat desain
Silaban ini sangat cocok untuk mesjid yang berdaya tampung 100.000
orang.
Silaban dengan rancangannya “Ketuhanan,” bartender dengan empat orang
arsitek keemapatnya muslim: Oetoyo dengan rancangannya “Istighfar” Hans
Groenewegen dengan rancangannya “Salam” Mahasiswa ITB (5 orang)
rancangannya “Ilham 5” Mahasiswa ITB (3 orang) rancangannya
“Chatulistiwa.” Silaban adalah salah satu lulusan terbaik dari Academie
van Bouwkunst Amsterdam tahun 1950.
Setahun kemudian, tepatnya 24 Agustus 1961, masih dalam bulan yang sama perayaan kemerdekaan RI, menjadi tanggal yang paling bersejarah bagi umat muslimin di Indonesia. Untuk pertama kalinya, sebuah masjid yang dimaksudkan sebagai simbol kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Padanan katanya dalam bahasa Arab berarti merdeka dan disepakati diberi nama Istiqlal sehingga jadilah, Masjid Istiqlal namanya.
Kampung Pancasila
Di tengah sensitifnya isu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA, sering menjadi pemicu konflik horizontal di masyarakat. Kasus Ambon dan Poso sudah cukup menjadi bahan untuk belajar soal toleransi beragama.
Tetapi, sitengah kondisi seperti ini “curiga-saling-curiga” ini, ada
secerca harapan. Semangat toleransi masih besar di anatara anak bangsa.
Ada banyak contoh nyata, tempat ibadah bisa berdampingan.
Masjid Almuqorrobienan dengan Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST) Jemaat Mahanain di Jalan Enggano Raya, Kelurahan Kebonbawang, Kecamatan Tanjungpriok, Jakarta Utara satu tembok. Hal ini sudah 53 tahun berdampingan. Kedua tempat ibadah itu menunjukkan kerukunan antar umat beragama yang cukup harmonis.
Masjid Almuqorrobienan dengan Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST) Jemaat Mahanain di Jalan Enggano Raya, Kelurahan Kebonbawang, Kecamatan Tanjungpriok, Jakarta Utara satu tembok. Hal ini sudah 53 tahun berdampingan. Kedua tempat ibadah itu menunjukkan kerukunan antar umat beragama yang cukup harmonis.
Tak hanya berdampingan, tempat ibadah dua pemeluk agama berbeda ini
juga berbagi tembok bersebelahan. Sehingga, kedua tempat ibadah
seolah-olah hanya dipisahkan satu tembok pembatas saja. Selama 53 tahun
umat kedua tempat ibadah itu hidup berdampingan dengan rukun. Mereka
hidup saling menghormati. “Selama puluhan tahun kami sudah hidup bersama
dan tidak pernah sekalipun terlibat dalam konflik,” ujar H Tawakal,
Wakil Ketua Yayasan Al-Muqorrobien.
Senada dengan H Tawakal, Ketua Jemaat GMIST Pendeta Tataleda Barakati
mengatakan, hubungan emosional kaum Muslim dan Nasrani di kedua tempat
ibadaha ini sangat akrab. “Hubungan kami sangat dekat. Bahkan, lebih
dekat dari hubungan kakak beradik,”ujar Pendeta asal Sangihe Talaud itu.
Bahkan, saat terjadi kerusuhan 1998 lalu, di mana banyak gereja-gereja yang dibakar, para pengurus masjid dan warga sekitar justru menjaga gereja yang sudah berdiri lebih dari setengah abad ini. “Para pengurus masjid mengusir orang-orang yang mencoba membakar gereja. `Ayo lawan kami, kata mereka,” ujar Tataleda seraya menirukan seruan umat Muslim kala itu.
Saling pengertian lainnya adalah saat perayaan hari besar agama. Jika
hari besar itu jatuh pada hari Minggu, gereja tidak menggelar ibadah.
Di pihak lain, jemaah Masjid Almuqorrobien tidak merasa terusik saat
jemaat gereja menggelar ibadah di hari Minggu.
Semangat toleransi ini bermula dari para pelaut asal Sangihe Talaud
yang kerap singgah di Pelabuhan Tanjungpriok, lalu berdiri pada tahun
1957 dan dinamakan Gereja Masehi Injili Talaud (GMIST). Setelah dua
tahun gereja itu berdiri, baru kemudian masjid Al-Muqorrobien dibangun.
Pelopornya adalah Abdul Azis Ali. Pemilihan lokasi di samping gereja
memang ada tujuanya, selain untuk memudahkan para pelaut dan pekerja
pelabuhan beribadah, juga untuk menunjukkan kerukunan agama di
Indonesia.
Saya, ada isu, gereja tersebut termasuk lahan yang akan digusur Suku Dinas (Sudin) Tata Kota Jakarta Utara untuk pelebaran jalan dan pembangunan taman. “Gereja dan masjid ini punya nilai historis sebagai simbol kerukunan beragama. Pemerintah kota seharusnya menjadikannya sebagai cagar budaya, bukan justru menggusurnya,” ujar Tataleda.
Para pengurus masjid telah datang ke gereja menunjukkan dukungan
moril agar gereja tersebut dapat dipertahankan. Kuatnya dukungan itu
ditunjukkan dengan tekad mereka bahwa jika gereja dibongkar masjid juga
harus dibongkar. Di Mesir ada gereja Kristen dan Sinagog Yahudi
berdampingan dengan masjid besar Amru bin Ash, ketiga tempat ibada itu
sampai sekarang masih aktif digunakan.
Kawasan Tugu saat terletak Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara.
Tugu mulai disebut sebut pada tahun 1661 yaitu tahun ditempatkannya 23
orang Kristen asal Benggala dan Koromandel. Lima belas tahun kemudian.
Jumlahnya meningkat menjadi 40 atau 50 keluarga dan ditempatkan seorang
guru di sana. Setengah abad kemudian, 1735, dibangunlah sebuah gereja
dari tembok, yang pada tahun 1740 dibakar oleh orang – orang Cina yang
memberontak. Pada tahun 1744 dibangun lagi gereja baru atas biaya
seorang pejabat VOC Justinus Vinck.
Lamongan kota soto itu bagi sebagian orang menyimpan ketakutan
tersendiri, karena Lamongan menjadi asal dari orang-orang yang diisukan
telibat teroris. Padahal, jauh dari pemikiran itu di di Lamongan ada
sebuah masjid berdampingan dengan tempat ibadah umat Hindu-Pura dan
tempat ibadah umat Kristen-Gereja.
Masjid Miftahul Huda di Desa Balun, Kecamatan Turi-Lamongan
berarsitektur kental timur tengah memiliki kubah besar di tengah, dengan
dikelilingi 5 kubah kecil sebagi simbol penanda salat lima waktu;
berdampingan dengan tempat ibadah agama Hindu dan Kristen.
Bangunan masjid dan pura hanya dipisahkan jalan kampung selebar 4
meter. Bahkan, jika dilihat dari lokasi Pura Sweta Maha Suci ini,
bangunan masjid seolah menyatu dengan bangunan pura. Tak hanya itu,
tepat di depan masjid berjarak kurang lebih 50 meter, berdiri sebuah
Gereja Kristen Jawi Wetan.
Ramadan lalu, semangat Pancasila terlihat di sana. Rasa saling menghormati juga diwujudkan selama bulan suci ramadan oleh penganut agama yang lain. Umat Hindu yang biasa beribadah pukul 19.00 WIB misalnya, terpaksa merubah jadwalnya sebelum Maghrib. Karena pada pukul 19.00 WIB umat Islam sedang menjalankan salat tarawih.
Keragaman keyakinan warga Desa Balun sudah terjalin sejak lama, saat
masing-masing tokoh agama menyebarkan agama di desa tersebut. Sedikitnya
1.500 kepala keluarga, 75 persen warga Desa Balun beragama Islam, 15
persen beragama Kristen dan sepuluh persen sisanya beragama Hindu.
Sebaliknya, di Bali berdirinya lima tempat ibadah yang dibangun dalam satu lokasi yang berdekatan. Komplek tersebut diberi nama Puja Mandala, Nusa Dua Bali. Kelima tempat ibadah yang besar di Indonesia ini berdampingan. Tidak ada saling ribut, tidak ada saling mengejek, damai dan sejahtera. Mulai dari Masjid, Pura, Gereja Katholik dan Protestan dan Vihara berdiri berdampingan tanpa ada sedikitpun keruwetan dalam menjalankan ibadah masing-masing. Yang terpenting saling hormat-menghormati; itulah kerukunan umat beragama.
Di Jombang, kecamatan Mojowarno, Ngoro, Bareng dan Wonosalam, tiga
tempat agama bisa berkembang, tanpa ada gesekan dan benturan, yaitu
Islam, Kristen (Protestan) dan Hindu.Tepatnya di Desa Mojowangi
Kecamatan Mojowarno yang jumlah pemeluk Islam dan Kristen jumlahnya
hampir seimbang. Bangunan masjid dan gereja pun jaraknya tak terlalu
jauh. Beberapa puluh meter di sebelah selatan gereja tua Mojowarno dan
merupakan gereja bersejarah di Jombang, berdiri dengan kokoh bangunan
masjid.
Sementara itu di Bongsorejo bangunan masjid dan gereja juga saling
berdekatan. Begitu juga di Kertorejo, Kecamatan Ngoro. Bahkan di Dusun
Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, bangunan pura, masjid dan
gereja hampir berdekatan. Kehidupan masyarakat Ngepeh pun tetap
harmonis. Bahkan di Dusun Mutersari, ada bangunan masjid dan gereja yang
temboknya menjadi satu seperti di Tanjung Priok.
Tempat ibadah yang terletak di pinggir Jalan Raya Mojoagung-Wonosalam
ini hanya tersekat oleh tembok masjid yang sekaligus menjadi pembatas
dengan halaman gereja, sementara halaman masjid tersekat oleh tembok
yang menjadi dinding gereja. Sungguh inilah toleransi itu, ada kesejukan
tersendiri di tengah isu yang sedang hangat “semangat yang intoleransi”
yang sedang dipertanyakan di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar